Pendahuluan
Salah satu bagian penting dalam ilmu fiqh
adalah pembahasan tentang persoalan perkawinan (fiqh munakahat), fiqh
keluarga atau al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Bukti pentingnya fiqh munakahat
ini adalah panjang lebarnya pembahasan yang disajikan oleh kitab-kitab fiqh
klasik mengenai topik ini. mengingat begitu pentingnya fiqh munakahat ini,
seorang ulama fiqh klasik bernama Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah
al-Bajuri, menyatakan bahwa fiqh munakahat merupakan rukun ketiga dari
beberapa rukun fiqh yang ada.
Pernyatan Ibrahim al-Bajuri tersebut
memang ada benarnya. Apabila kita perhatikan beberapa kitab fiqh standar,
biasanya pembahasan yang paling awal dimulai dari masalah ibadah karena menurut
ulama fiqh, keberadaan fiqh ibadah sangat penting dalam kaitannya dengan
hubungan antara Allah dan hamba-Nya. Setelah ibadah, kemudian pembahasan
masalah mu’amalah (tata cara tentang pergaulan). Fiqh mu’amalah diletakkan pada
urutan kedua karena kebutuhan akan fiqh ini lebih besar dibandingkan dengan
kebutuhan fiqh-fiqh lainnya. Biasanya pembahasannya diselingi dengan pembahasan
mengenai fiqh waris (‘ilmu al-Faraid) setelah pembahasan mengenai fiqh
warisan , baru menginjak pada pembahasan fiqh munakahat. Meskipun
susunan seperti ini hampir bisa dijumpai dalam setiap kitab fiqh yang ada,
susunan ini bukan merupakan ciri yang baku. Akan tetapi hampir bisa dipastikan
bahwa kitab fiqh klasik semuanya memiliki urutan struktur pembagian bab seperti
itu. bahkan kitab fiqh yang ditulis oleh ulama belakanganpun mengikuti urutan
bab demikian, misalnya Al-Fqih Al-Islami wa Adilatuhu, yang ditulis oleh
ulama’ fiqh syuriah kontemporer Wahbah Al-Zuhaili.
Apabila kita membuka kitab-kitab fiqh yang
ada, hampir bisa dipastikan kita menjumpai bab fiqh munakahat di dalamnya.
artinya, fiqh munakahat masih menjadi bagian yang belum terpisahkan dari
seluruh bangunan fiqh. Akan tetapi, sekarang, karena tuntutan zaman , sudah
mulai dirintis penulisan-penulisan yang yang menuju kemandirian kajian fiqh
perkawinan dalam suatu cabang disiplin yang secara khusus membicarakan
problem-problem fiqh munakahat.
Dalam kitab-kitab fiqh yang mu’tabar
(yang diakui validitasnya) pembahasan tentang perkawinan biasanya termasuk
dalam suatu bagian yang disebut dengan Kitab Al-Nikah. Dalam kitab
Al-Nikah ini tidak hanya dibahas persoalan-persoalan tentang perkawinan, tetapi
mencakup pembahasan mengenai persoalan-persoalan lain yang masih ada kaitannya
dengan perkawinan, misalnya perceraian (talak) rujuk, iddah dan sebagainya.
Dalam bahasa ushul fiqh, ini semua masih satu qadliyah (satu rangkaian
pembahasan).
Dalam Islam nikah merupakan salah satu
syari’at yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. pernikahan merupakan syari’at
Tuhan untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulan
kekeluargaan yang penuh kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan
yang penuh cinta dan kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah wa
rahmah. Dengan nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan
apa saja yang sebelumnya dilarang oleh agama, misalnya hubungan seksual.
A. Pengertian Nikah
Menurut
pengertian sebagian fuqaha’, perkawinan adalah :
“Akad
yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan menggunakan
lafadz nikah atau ziwaj atau yang semakna dengannya.
Definis
lain yang semakna dengan pengertian di atas adalah sebagaiana diberikan oleh
Abu Yahya Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahhab :
Definisi
nikah menurut kalangan madzhab empat, secara berurutan :[3]
Hanafiah, nikah sebagai akad (perjanjian) yang
berakibat pada pemilikan “seks” secara sengaja. Yang dimaksud dengan
kepemilikan seks di sini adalah pemilikan laki-laki atas kelamin serta seluruh
badan perempuan untuk dinikmati. Kepemilikan di sini bukanlah kepemilikan yang
bersifat hakiki, karena kepemilikan hakiki hanya ada pada Allah SWT. sebagian
ulama’ Hanafiyah yang lain berpendapat bahwa kepemilikan dalam hal ini adalah
kepemilikan untuk memperoleh kesenangan seksual (istimta’).
Syafi’iyah Ulama dari kalangan madzhab Syafi’i mendefinisikan nikah sebagai akad (perjanjian) yang
berdampak adanya kepemilikan seks dengan menggunakan kalimat nikah, tazwij,
atau kalimat-kalimat yang artinya semacam itu. ini dari definisi ini adalah
kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mengambil manfaat seksual dari alat
kelamin perempuan. Sebagian ulama Syafi’iyah yang lain berpendapat bahwa nikah
merupakan akad yang membolehkan seks, bukan akad kepemilikan.
Malikiyah Mendefinisikan nikah sebagai akad (ikatan perjanjian) untuk
mendapat kenikmatan seksual dengan anak Adam tanpa menyebutkan harganya secara
pasti sebelumnya. Secara sederhana Madzhab Malikiyah mengatakan bahwa nikah
adalah akad kepemilikan manfaat alat kelamin dan seluruh badan istri.
Hanabilah Ulama dari kalangan ini tampaknya agak praktis dalam
mendefinisikan nikah. Menurut mereka nikah adalah akad yang diucapkan dengan
menggunakan kata nkah dan tazwij untuk kesenangan seksual.
Meskiipun definisi di atas tampak berbeda-beda, apabila kita
perhatikan dengan seksama, definisi-definisi tersebut memiliki nuansa yang
tidak jauh berbeda, bahkan cenderung sama, yakni nikah : adalah akad yang
digunakan untuk mengatur pemanfaatan suami atas kelamin istrinya dan seluruh
badannya untuk tujuan kenikmatan). Dengan akad nikah ini, suami memiliki hak
secara penuh untuk memanfaatkkan alat kelaimin istrinya. Sebagian ulama merasa
perlu membedakan antara milk al-intifa’ dan milk al-manfa’ah. Milk
al-Intifa’ mengisyaratkan bahwa pemilikan bersifat temporer, sementara milk
mabfa’at berarti kepemilikan manfaat tersebut berlangsung secara terus
menerus. Namun perbedaan tersebut tidak mempengaruhi makna yang fundamental
dari hak yang dimiliki oleh suami.
Sedangkan nikah menurut Wahbah Az-Zuhaili seorang ulama fiqh
kontemporer :
عقد وضعه الشارع ليفيد ملك إستمتاع الرجل والمرأة وحل استمتاع المرأة بالرجل
“Ikatan
yang ditentukan oleh pembuat hukum
(syari’) yang memungkinkan laki-laki untuk istimta’ (mendapatkan
kesenangan seksual) dari istrinya, dan demikian juga, bagi perempuan untuk
mendapatkan kesenangan seksual dari suaminya.
Dari beberapa pengertian di atas apabila kita perhatikan hanya melihat
dari satu sisi saja yaitu kebolehan dalam hubungan kelamin antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang sebelumnya dilarang menjadi dibolehkan.
Sementara kita tahu bahwa setiap perbuatan hukum itu mempunyai
tujuan dan akibat serta pengaruhnya. Terjadinya perceraian misalnya kurang
adanya keseimabangan antara suami isteri dalam berbagai hal, sehingga perlu
adanya penegasan lebih lanjut tentang pengertian perkawinan yang tidak hanya
menitik beratkan pada kebolehan melakukan hubungan kelamin (seks), tetapi juga
mencakup segi tujuan dan akibat hukumnya. Pengertian semacam ini dapat kita
lihat pada pendapat para ahli hukum Islam mutaakhkhirin seperti Muhammad Abu
Zahrah :
“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami isteri) antara seorang pria dan seorang wanita dan
mengadakan tolong menolong, memberi batasan hak bagi pemiliknya serta pemenuhan
kewajiban bagi masing-masing.
Dari pengertian yang kedua ini perkawinan mengandung aspek
akibat hukum, yaitu saling mendapatkan hak dan pemenuhan kewajiban serta
bertujuan mengadakan pergaulan yang didasari tolong menolong karena perkawinan
merupakan pelaksanaan perintah agama, maka di dalamnya terkandung tujuan dan
maksud mengharapkan keridaan Allah swt.
Di dalam istilah fiqh masalah perkawinan dipakai kata nikah dan
ziwaj. Nikah berarti perjanjian (aqad) dan bersetubuh (watha’).
Ziwaj berarti perjodohan dan pertemanan.
Ini terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.
1. Nikah dengan arti akad :
a.
((#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Dan nikahkanlah (akadkan) orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. (An-Nur 32).
b
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
Dan janganlah kamu nikahi (akad)wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
(al-Baqarah 221).
2. Nikah dengan arti watha’ :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. (Al-Baqarah 230)
Arti kawin dalam ayat di atas diterangkan oleh salah satu
hadis, yaitu seorang wanita yang telah ditalak oleh suaminya tiga kali,
kemudian ia kawin dengan laki-laki lain. kemudian ia bercerai dengan suaminya
yang kedua serta telah habis masa iddahnya lalu wanita itu menghadap rasulullah
SAW. dan menanyakan apakah ia boleh kawin lagi dengan bekas suaminya yang
pertama sedang ia belum pernah bersetubuh (watha’)dengan suami yang kedua.
Rasululllah menjawab dengan sabdanya :
لا حتى يذوق الأخر من عسيلتها ماذاق الأول.
“...Tidak boleh, hingga suami yang terakhir merasakan madunya
(wanita) itu menurut yang dirasakan oleh suami yang pertama. (HR. Bukhari
Muslim).
3. Ziwaj dengan arti perjodohan seperti
firman Allah SWT :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu jodoh-jodoh (isteri-isteri) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya... (Ar-Rum : 21).
4.
Ziwaj
dengan arti teman seperti firman Allah swt :
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ
"Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman
mereka. (as-Shaffat 22).
Syafi’i dan Hanafi berbeda pendapat di dalam menetapkan ari
hakekat nikah. Menurut Imam Syafi’i arti hakekat nikah adalah aqad
(perjanjian), sedangkan arti majaznya adalah watha’ (bersetubuh), sedangkan
menurut Abu Hanifah adalah sebaliknya yaitu hakekat nikah adalah watha’
sedangkan arti majaznya adalah akad.
Oleh karena itu menurut Abu Hanifah, anak zina dari
seorang laki-laki pada hakekatnya sama hukumnya dengan anaknya yang lahir dari pernikahannya
dengan seorang wanita, karena telah terjadi watha’ antara laki-laki tersebut
dengan wanita itu, sehingga anak zina haram dikawininya.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa anak zina dari
seorang laki-laki dengan seorang wanita boleh dikawini oleh laki-laki itu,
karena antara laki-laki dan wanita tersebut belum terjadi aqad.
Az Zamakhsyari dalam
kitabnya al-Kasysyaf juga mengatakan bahwa nikah itu tidak diartikan kecuali akad.
Menurut Prof. Dr. Hazairin, SH. Dalam bukunya Hukum Keluarga
Nasional mengatakan bahwa inti perkawinan itu adalah hubungan sksual, tidak ada
nikah bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamtsil bila tidak
ada hubungan seksual antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu
menunggu (iddah) istri yang ditalak untuk menikah lagi dengan laki-laki lain.
Menurut UU No. 1 Tahun 74,
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Akad yang sangat kuat atau Mithaqan
ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.[5]
B. Hukum Melaksanakan Perkawinan
Dalam Islam nikah merupakan salah satu syari’at yang dianjurkan
oleh Rasulullah saw. pernikahan merupakan syari’at Tuhan untuk mengatur
hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulan kekeluargaan yang
penuh kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan
kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah wa rahmah. Dengan
nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan apa saja yang
sebelumnya dilarang oleh agama, misalnya hubungan seksual.
Meskipun menurut Sunnah Rasulullah Saw, nikah hanya sampai
batas anjuran dan bukan kewajiban, anjuran ini bobotnya bisa berubah-ubah. Bisa
saja anjuran (sunnah) ini menjadi wajib, bisa menjadi makruh, bisa menjadi
hukum asalnya (sunnah) dan bisa pula wenang (jaiz), tergantung kepada situasi
dan kondisi yang melingkupinya, misalnya, dalam kasus nikah yang merupakan
anjuran, terlihat dalam sabda Rasulullah Saw, yang artinya, “nikah adalah
sunnahku, barang siapa yang tidak suka sunnahku, dia tidak termasuk
golonganku.” Hadis inimenunjukkan bahwa nikah tergolong sunnah. Akan tetapi
kalau kita tidak mengikuti anjuran itu, kita diangap bukan ummat Muhammad Saw.
apabila kita memakai mafhum mukhalafah, bisa kita ambil kesimpulan bahwa nikah
itu mendekati wajib.
Tentang hukum melaksanakan pernikahan ini fuqaha’ berbeda
pendapat. Jumhur berpendapat bahwa nikah itu sunnah, zahiri berpendapat menikah
itu wajib. Ulama’ Maliki berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagai dan
sunnah untuk sebagian yang lain dan mubah bagi sebagian yang lain. Ini
berkaitan dengan pertimbangan dan kekhawatiran terhadap kesulitan dirinya.
Hukum
pernikahan dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan pelakunya, sesuai dengan
illat atau kausanya.
1. Wajib.
Seseorang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan menikah, dan nafsunya juga sangat mendesak, apabila tidak menikah
dikhawatirkan akan berbuat zina dan satu-satunya jalan untuk menghidarkan diri
dari perbuatan yang dilarang oleh Allah adalah menikah maka baginya wajib untuk
menikah.
2. Sunnah.
Seseorang telah mempunyai kemampuan dan
kemauan untuk menikah, tetapi dia juga mampu menahan diri, sehingga tidak
khawatir akan berbuat zina, maka hukumnya sunnah. Meskipun demikian menikah
tentunya lebih baik baginya.
3. Makruh.
seseorang dipandang dari segi jasmaniyah
mampu untuk kawin, tetapi juga mempunyai kemampuan menahan diri, sehingga tidak
khawatir akan berbuat zina. Dari segi biaya juga belum siap, sehingga kalau dia
kawin diduga kehidupan keluarganya kurang terurus, sehingga tidak dapat
mencapai tujuan perkawinan.
4. Haram
Seseorang yang tidak mempunyai keinginan
dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban
sebagai suami istri, sehingga apabila ia menikah hanya akan menerlantarkan diri
dan istrinya, maka hukumnya haram baginya menikah. Juga apabila seorang pria
atau wanita yang mempunyai penyakit atau kelemahan yang tidak dapat
melaksanakan kewajiban sebagai suami isteri, sehingga salah satu pihak menjadi
penderita dan tujuan perkwainan tidak dapat tercapai maka yang demikian juga
haram hukumnya menikah.
C. Tujuan Perkawinan
Setiap hukum yang ditetapkan tentu mengandung tujuan-tujuan
tertentu. Demikian juga halnya Syari’at Islam, menetapkan perkawinan
tujuan-tujuan tertentu pula.
Adapun
tujuan perkawinan antara lain :
1. Untuk melanjutkan keturunan, membentuk
keluarga-keluarga membentuk umat Islam. Firman Allah Surat An-Nisa’ 7.
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
Artinya : ”Allah
menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezki dari yang baik-baik."
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
Artinya : Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu,
dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-Nisa’ 1)
2.
Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
Allah SWT.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
3. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami
istri serta kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan
anggota-anggota keluarga lain.
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
4.
Untuk mengikuti dan menghomati Sunnah Rasulullah saw.
5. Untuk menjaga dan membersihkan keturunan
yang jelas nasabnya.
Atau dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Menghalalkan
hubungan kelamin (seks) untuk memnuhi tunuttan hajat tabi’at kemanusiaan.
2.
Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar rasa cinta lasih.
3.
Memperoleh keturunan yang sah.
Menurut imama Ghazali, tujuan perkawinan adalah :
1.
Memperoleh
keturunan yang sah.
2.
Memenuhi
tuntutan naluri hidup manusia.
3.
Memlihara
manusia dari kerusakan dan kejahatan.
4.
Membentuk
dan mengatur keluarga sebagai komponen struktur sosial kemasyarakatan.
5.
Menumbuhkan kesungguhan berusaha
mencari rizqi penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Dengan perkawinan jiwa kita terpelihara, moralitas kita
terselamatkan dan potensi fitrah kita juga tersalurkan.
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1), sedangkan Kompilasi
Hukum Islam, dalam pasal 3 disebutkan : bahwa “Perkawinan bertujuan untuk
menwujdkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
D.
Macam-macam Pernikahan.
Pada prinsipnya dalam Islam hanya ada satu penikahan, yang
bertujuan melaksanakan perintah Allah agar tercapai ketentraman dan kedamaian
hidup dalam masyarakat. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
perkawinan dalam Islam, di antaranya adalah ; bahwa perkawinan dilakasanakan
untuk melaksanakan perintah agama, adanya kerelaan dan persetujuan, dan prinsip
bahwa perkawinan untuk selama-lamanya. Sehingga apabila perkawinan yang
dilaksanakan dengan menyelahi prinsip-prinsip tersebut dianggap batal. Dalam
lintasan sejarah ada beberapa macam perkawinan yang pernah dilakukan oleh
manusia, kemudian dibatalkan dan dilarang oleh syara’.
a. Nikah Mut’ah.
Nikah yang yang dilaksanakan dalam waktu
tertentu dan bersifat sementara dengan maksud untuk bersenang-senang dan
memuaskan hawa nafsu saja.
b. Nikah Muhallil
Pernikahan antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita yang ditalak tiga oleh suaminya, dengan tujuan untuk
menghalalkan si wanita tersebut dikawin kembali oleh bekas suaminya.
Wanita yang ditalak tiga oleh suaminya
tidak dapat dinikahi kembali oleh mantan suaminya kecuali dengan syarat-syarat
:
1.
Harus
kawin dengan laki-laki lain.
2.
Sudah
terjadi hubungan kelamin dengan laki-laki mengawininya.
3.
Ditalak
oleh suaminya yang baru tadi.
4.
Telah
habis masa iddahnya.
Imam Syafi’i mengharamkan nikah
muhallil sama halnya dengan nikah mut’ah apabila maksud tersebut dinyatakan
dalam shighat akad nikah. Akan tetapi kalau tidak dinyatakan dalam shighat maka
nikahnya tetap sah. Apabila terjadi permufakatan sebelumnya, tetapi tidak
dinyatakan dalam shighat akad maka nikahnya tetap sah, tetapi permufakatannya
dinyatakan makruh.
Menurut Hanafi apabila seorang
laki-laki mengawini seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh bekas suaminya,
dengan maksud suami pertama dapat mengawininya kembali, dengan tujuan bahwa
mereka dapat kembali membangun rumah tangganya, maka pernikahan tersebut sah
hukumnya, bahkan laki-laki muhallil tersebut justru mendapat pahala. Akan
tetapi apabila niat laki-laki tersebut hanya untuk memuaskan hawa nafsunya
saja, maka perkawinan itu hukumnya makruh.
c. Nikah Syighar
Adalah nikah tukar-menukar, yaitu seorang
laki-laki menikahkan seorang wanita yang ada di bawah perwaliannya dengan
laki-laki lain dengan syarat bahwa laki-laki tersebut juga menikahkan seorang
wanita yang ada dibawah perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaan
membayar mahar, atau alat kelamin perempuan itu menjadi imbangan alat kelamin
perempuan lainnya.
Akan tetapi apabila dinyatakan kesediaan
membayar mahar, maka nikahnya menjadi sah.
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa nikah
syighar termasuk perkawinan yang dilarang dan haram hukumnya, maka apabila
terjadi perkawinan yang demikian adalah batal.
Nikah syighar diharamkan karena dalam
shighat nikah tidak disebutkan kesediaan membayar mahar dari calon suami kepada
calon isteri. Apabila dalam shighat akad disebutkan atau dinyatakan kesanggupan
dari calon suami kepada calon istri, maka nikah itu sah hukumnya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah tersebut sah, asalkan kepada perempuan
yang dikawini itu diberikan mahar, sebab perempuan bukanlah mahar.
d. Nikah tafwid
Adalah nikah yang di dalam shighat akadnya
tidak dinyatakan kesediaan membayar mahar oleh pihak calon suami.
Ibnu Hazm dan mazhab Maliki berpendapat
bahawa nikah tafwid adalah nikah yang tidak sah. Mereka beralasan bahwa apabila
dalam perkawinan disyaratkan tidak ada mahar, maka fasakh hukumnya.
E. Rukun dan syarat pernikahan
Rukun
perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Sedangkan syarat adalah
sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk dari hakekat
perkawinan. Karena perkawinan merupakan pelaksanaan hukum agama, maka harus
diingat bahwa dalam melaksanakan perkawinan itu oleh agama ditentukan
unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun dan
masing-masing rukun diperlukan syarat-syarat.
Adapun
rukun perkawinan itu adalah :
1.
Adanya
pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah, yaitu mempelai pria dan wanita.
2.
Adanya
wali dari pihak wanita
3.
Adanya
dua orang saksi
4.
Dilakukan
dengan shighat tertentu.
Syarat-syarat
dari rukun yang pertama adalah :
1.
Calon
suami beragama Islam
2.
Jelas
bahwa calon suami adalah laki-laki
3.
Orangnya
diketahui dan tertentu
4.
Calon
mempelai itu jelas halal dikawini dengan calon isteri
5.
Calon
mempelai laki-laki tahu pada calon isteri serta tahu bahwa calon istrinya halal
baginya.
6.
Calon
suami ridho / tidak dipaksa.
7.
Tidak
sedang ihram
8.
Tidak
mempunayi istri yang haram dimadu.
9.
Tidak
sedang mempunyai empat istri.
Sedangkan
syarat calon perempuan adalah :
1.
Beragama
Islam
2.
Jelas
bahwa dia adalah wanita bukan khuntsa.
3.
Wanita
itu tertentu orangnya.
4.
Halal
bagi calon suami.
5.
Wanita
itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak pula dalam masa iddah.
6.
Tidak
dipaksa.
7.
Tidak
dalam keadaan ihram haji atau umrah.
F. Hikmah Pernikahan.
Adapun hikmah disyari’atkannya pernikahan adalah :[6]
1.
Untuk
menjaga manusia laki-laki dan perempuan dari perbuatan yang terlarang.
2.
Untuk
menjaga kelangsungan hidup manusia.
3.
Menjaga
keturunan dan nasab
4.
Membentuk
keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat
5.
Untuk
mengadakan tolong-menolong di antara pasangan suami-istri, Menciptakan
kecintaan di antara masyarakat dan menguatkan ikatan tali kekeluargaan dan
dengan pernikahan pula akan membawa kemaslahatan..
6.
Menimbulkan
rasa Tanggung jawab.
[1]
Abdurrahman
al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-arba’ah, Dar al-Fikr, jil. IV. Hal
1.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Muhammad
Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhsiyyah,
[5]
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonsia, Pasal 2, (jakarta : CV.
Akdemika Presindo, 1995), 114.
[6]
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami... hal. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar